Aku menulis maka aku belajar

Sunday, August 10, 2025

Budaya Kekerasan dan Etika Profesional Militer di Indonesia


Kasus kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo menjadi cermin buram dari realitas budaya kekerasan yang masih bercokol di tubuh militer Indonesia. Tragedi yang menimpa prajurit muda ini, yang baru saja mengawali kariernya di TNI AD, memperlihatkan bagaimana relasi senioritas yang seharusnya dibangun atas dasar pembinaan, bimbingan, dan solidaritas korps justru berubah menjadi relasi kekuasaan yang eksploitatif dan destruktif. Luka-luka fisik yang dideritanya—sayatan, lebam, bekas sundutan rokok, hingga benturan benda tumpul—menjadi bukti konkret bahwa kekerasan fisik masih dijadikan instrumen untuk “mendidik” atau “mendisiplinkan” anggota baru. Padahal, dalam kerangka profesionalisme militer modern, kekerasan seperti ini tidak hanya ilegal, tetapi juga mengkhianati nilai dasar kehormatan prajurit. 

Budaya kekerasan dalam militer bukan fenomena yang lahir secara tiba-tiba. Ia memiliki akar sejarah yang panjang, sebagian diwarisi dari tradisi feodal, sebagian lagi terbentuk dari sistem pendidikan militer yang keras dan hierarkis sejak era kolonial. Dalam konteks Indonesia, model pelatihan yang mengandalkan shock therapy dan penekanan fisik kerap dipertahankan atas nama pembentukan mental baja. Namun, yang sering diabaikan adalah fakta bahwa metode ini juga membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh senior terhadap junior, yang justru menumbuhkan rasa takut, dendam, dan reproduksi kekerasan di generasi berikutnya. 

Etika profesional militer, baik yang diatur dalam Undang-Undang TNI maupun dalam kode etik Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, sesungguhnya mengedepankan penghormatan terhadap martabat manusia, solidaritas antarprajurit, serta keberanian moral untuk melindungi yang lemah. Dalam idealitas tersebut, seorang senior adalah pelatih, mentor, sekaligus teladan bagi juniornya, bukan pelaku penganiayaan. Ketika prinsip ini dilanggar, seperti dalam kasus Prada Lucky, maka yang rusak bukan hanya tubuh korban, tetapi juga integritas kelembagaan militer secara keseluruhan. 

Kekerasan internal antaranggota militer juga mencoreng citra TNI di mata publik. Masyarakat sipil menaruh ekspektasi tinggi terhadap militer sebagai institusi yang berdisiplin, berintegritas, dan profesional. Setiap kasus penganiayaan, apalagi yang berujung kematian, menambah daftar panjang alasan mengapa reformasi budaya militer menjadi keharusan. Kepercayaan publik tidak hanya dibangun melalui kemampuan tempur atau ketangguhan fisik, tetapi juga melalui perilaku etis yang konsisten di semua tingkatan hierarki. 

Secara sosiologis, pola kekerasan dalam relasi senior-junior di militer mirip dengan fenomena “hazing” dalam organisasi tertutup lainnya. Senioritas dijadikan legitimasi untuk melakukan tindakan yang di luar hukum formal, dengan dalih tradisi atau pembentukan karakter. Namun, tradisi semacam ini sering berjalan tanpa mekanisme kontrol yang efektif, sehingga melahirkan lingkaran setan kekerasan. Junior yang dulu menjadi korban, suatu saat dapat menjadi pelaku ketika posisinya berbalik. Siklus ini hanya bisa diputus jika ada intervensi kelembagaan yang tegas. 

Kasus Prada Lucky juga menyoroti persoalan transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum militer. Ketika pelaku adalah sesama anggota TNI, proses hukum kerap berjalan di ranah peradilan militer yang tertutup dari pengawasan publik. Hal ini memunculkan persepsi negatif bahwa institusi lebih melindungi anggotanya daripada korban atau keluarganya. Untuk mengembalikan kepercayaan publik, proses hukum harus dilakukan secara terbuka, profesional, dan proporsional, tanpa kompromi terhadap pelaku pelanggaran etika dan hukum. 

*** 

Dalam perspektif etika militer, penggunaan kekerasan di luar konteks operasi atau pelatihan yang sah adalah bentuk penyalahgunaan wewenang. Profesionalisme militer mensyaratkan bahwa kekuatan fisik hanya digunakan sesuai perintah yang sah, dalam batas hukum humaniter, dan untuk tujuan mempertahankan keamanan negara, bukan untuk mendominasi atau merendahkan sesama anggota. Pelanggaran prinsip ini berarti membiarkan militer terjebak dalam mentalitas premanisme berseragam. 

Dampak dari budaya kekerasan ini tidak hanya dirasakan korban secara langsung, tetapi juga merembes ke iklim kerja dan moral pasukan. Anggota yang merasa terancam oleh seniornya akan sulit mengembangkan rasa percaya, solidaritas sejati, dan komitmen pada misi bersama. Dalam jangka panjang, ini berpotensi mengurangi efektivitas tempur dan kesiapan operasional, karena rasa takut lebih dominan daripada rasa hormat. 

Budaya kekerasan juga berlawanan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang menjadi bagian dari standar internasional bagi militer modern. Indonesia, sebagai negara yang terikat pada berbagai instrumen HAM internasional, memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan bahwa aparatnya—termasuk TNI—menjadi pelindung, bukan pelanggar, hak asasi. Kekerasan internal seperti dalam kasus Prada Lucky melemahkan klaim Indonesia sebagai negara demokratis yang menjunjung supremasi hukum. 

Reformasi budaya militer tidak cukup hanya dengan mengeluarkan peraturan baru. Itu membutuhkan perubahan paradigma di semua level, mulai dari akademi militer, pusat pelatihan, hingga satuan operasional. Pendidikan etika militer harus ditekankan sejajar dengan pelatihan fisik, sehingga pembentukan mental prajurit tidak diukur semata dari ketahanan fisik, tetapi juga dari integritas moral dan empati kemanusiaan. 

Kepemimpinan di lingkungan militer memiliki peran sentral dalam mengubah budaya ini. Komandan yang tegas menolak kekerasan internal, memberikan sanksi jelas kepada pelaku, dan melindungi pelapor dari intimidasi akan menjadi role model bagi bawahannya. Sebaliknya, pemimpin yang permisif atau bahkan terlibat dalam pembiaran justru mengabadikan praktik yang merusak ini. 

Di tengah ancaman eksternal yang semakin kompleks, militer Indonesia tidak bisa membiarkan dirinya terkikis oleh masalah internal seperti ini. Energi dan sumber daya yang seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kapasitas pertahanan negara justru terbuang untuk menangani krisis moral akibat kekerasan internal. Dalam logika keamanan nasional, prajurit adalah aset strategis yang harus dilindungi, bukan dikorbankan oleh sesama anggota. 

Kasus Prada Lucky membuka ruang refleksi mendalam tentang relasi antara kekuasaan, tradisi, dan etika profesional di tubuh TNI. Pertanyaannya, apakah institusi siap memutus mata rantai kekerasan ini, atau akan membiarkannya terus hidup sebagai warisan gelap yang diwariskan ke generasi berikutnya? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah profesionalisme militer Indonesia ke depan. 

Keluarga korban, dalam tuntutannya, tidak hanya meminta keadilan bagi Lucky, tetapi juga menginginkan agar “tidak ada Lucky-Lucky lain” di masa depan. Ini adalah seruan moral yang seharusnya menjadi agenda utama reformasi militer. Perlindungan terhadap prajurit muda bukan hanya urusan kemanusiaan, tetapi juga investasi strategis bagi masa depan pertahanan negara. 

*** 

Dalam konteks kelembagaan, setiap pelatihan dan pembinaan prajurit seharusnya diarahkan untuk membangun kepercayaan dan solidaritas, bukan ketakutan. Kekerasan yang dilegalkan atas nama tradisi membentuk prajurit yang patuh secara lahiriah tetapi rapuh secara psikologis. Sebaliknya, pembinaan yang mengedepankan disiplin berbasis penghormatan akan melahirkan pasukan yang loyal secara tulus. 

Pengawasan eksternal, baik oleh lembaga negara maupun masyarakat sipil, menjadi penting untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip etika militer tidak hanya menjadi slogan. Mekanisme pelaporan yang aman bagi korban atau saksi, serta transparansi dalam proses hukum, akan menutup ruang bagi impunitas yang selama ini menjadi salah satu akar persoalan. 

Jika dilihat dari pengalaman negara lain, reformasi budaya militer memerlukan keberanian institusional untuk mengakui kesalahan masa lalu dan membangun sistem baru yang menolak kekerasan internal. Langkah-langkah seperti audit budaya organisasi, pelatihan ulang etika militer, dan sanksi yang tegas terhadap pelanggar bisa menjadi titik awal. 

Etika profesional militer adalah fondasi yang menjamin bahwa kekuatan bersenjata tetap berada dalam koridor hukum dan moral. Tanpa etika, kekuatan militer kehilangan legitimasi sosialnya dan berubah menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Kasus Prada Lucky adalah pengingat tragis bahwa kekuatan tanpa etika adalah kekerasan, dan kekerasan yang dilegalkan akan selalu merusak dari dalam. 

Refleksi dari kasus ini tidak boleh berhenti pada rasa simpati atau kemarahan sesaat. Ini harus menjadi momentum untuk menggeser paradigma, dari militer yang memelihara budaya kekerasan menuju militer yang membangun kekuatan melalui disiplin, solidaritas, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Jika ini berhasil dilakukan, maka pengorbanan Prada Lucky tidak akan sia-sia, karena ia menjadi titik balik menuju militer Indonesia yang benar-benar profesional dan beretika.
Read more ...

Saturday, August 9, 2025

Slow Living Theology


Slow living theology adalah sebuah cara pandang yang mengajak kita untuk kembali melambat di tengah derasnya arus kehidupan modern, khususnya di era digital. Konsep ini bukan sekadar soal gaya hidup santai atau mengurangi kesibukan, melainkan undangan untuk meresapi makna hidup dan iman dengan ritme yang lebih manusiawi. Dalam dunia yang dikuasai oleh “cult of speed” dimana segala sesuatu harus serba cepat dan instan, teologi ini hadir sebagai kritik sekaligus tawaran jalan lain, yang mengajak kita menghidupi iman dengan kedalaman, bukan hanya kecepatan. 

Akar dari slow living theology dapat ditelusuri pada kebijaksanaan tradisi rohani Kristen yang sejak awal mengajarkan pentingnya waktu untuk berdoa, merenung, dan membangun relasi dengan Allah serta sesama. Kisah hidup Yesus dalam Alkitab pun menarasikan saat-saat Ia menarik diri ke tempat sunyi untuk berdoa, yang menyiratkan pesan teladan bahwa ritme hidup yang sehat membutuhkan jeda. Dalam sejarah gereja, praktik seperti sabat, retret, dan kontemplasi adalah bentuk “melambat” yang memberi ruang bagi jiwa untuk bernafas. Di tengah dunia digital yang penuh notifikasi, pesan instan, dan tekanan untuk selalu produktif, warisan ini menjadi semakin relevan. 

Ragam teologi ini tidak menolak teknologi atau modernitas secara total, tetapi mengajak orang untuk menggunakannya secara bijak. Teknologi digital, media sosial, dan kemudahan akses informasi membawa banyak manfaat, namun juga menciptakan tekanan untuk terus terkoneksi. Slow living theology menantang kita untuk bertanya: apakah konektivitas itu memperdalam atau justru menguras relasi kita dengan Tuhan? Apakah kita menguasai teknologi, atau sebaliknya, teknologi yang menguasai kita? 

Dalam praktik sehari-hari, slow living theology berarti berani memberi ruang untuk diam, hening, dan hadir sepenuhnya pada momen sekarang. Ini bisa berupa doa tanpa tergesa-gesa, percakapan mendalam tanpa terdistraksi oleh layar ponsel, atau menikmati keindahan alam tanpa buru-buru mengunggahnya ke media sosial. Kehadiran penuh seperti ini membantu kita melihat karya Allah dalam detail hidup yang sering luput ketika kita terlalu cepat bergerak. 

Salah satu tantangan besar yang dihadapi gereja di era digital adalah “fast-food spirituality”. Fenomena ini menggambarkan kecenderungan mencari pengalaman rohani yang cepat, instan, dan emosional, tetapi sering kali dangkal. Slow living theology mengajak gereja dan jemaat untuk kembali ke akar: menghidupi disiplin rohani yang konsisten, walau tidak instan menghasilkan sensasi. Seperti halnya makanan bergizi yang memerlukan proses memasak yang lama, iman yang sehat pun butuh waktu untuk bertumbuh. 

Di tingkat pribadi, teologi ini mengundang kita untuk keluar dari pola “doing” yang obsesif menuju “being” yang sadar akan kehadiran Tuhan. Banyak orang mengukur keberhasilan hidup rohani dari seberapa banyak kegiatan yang dilakukan: rapat pelayanan, proyek sosial, atau program gereja. Padahal, slow living theology mengingatkan bahwa keberadaan kita di hadapan Tuhan lebih penting daripada daftar kegiatan yang kita capai. 

Di tingkat komunitas, slow living theology dapat membentuk budaya gereja yang lebih inklusif dan peduli. Ketika ritme pelayanan tidak melulu dikejar oleh target dan jadwal padat, ada ruang untuk mendengar cerita orang, menemani yang berduka, dan memberi perhatian pada yang sering terpinggirkan. Gereja yang melambat justru bisa menjadi lebih relevan, karena punya waktu untuk benar-benar hadir bagi jemaat dan masyarakatnya. Bagi generasi muda, teologi ini relevan sebagai penyeimbang di tengah tekanan budaya hustle (hiruk-pikuk). Banyak anak muda terjebak dalam obsesi pencapaian sejak dini, sehingga kelelahan mental menjadi hal biasa. Slow living theology menawarkan alternatif: hidup yang bermakna tidak selalu berarti hidup yang sibuk. 

*** 

Di tengah tekanan ekonomi dan sosial, slow living theology juga menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem yang memandang manusia hanya dari produktivitasnya. Teologi ini mengingatkan bahwa manusia adalah gambar Allah, bukan sekadar roda dalam mesin kapitalisme global. Melambat berarti menegaskan kembali martabat manusia sebagai makhluk yang berharga bukan karena hasil, tetapi karena keberadaannya. Ada dimensi ekologis yang kuat dalam slow living theology. Melambat berarti selaras dengan ritme ciptaan, tidak menguras sumber daya alam secara berlebihan demi memenuhi nafsu konsumsi instan. Prinsip ini dekat dengan ekoteologi yang menekankan keadilan bagi bumi dan semua makhluk hidup. Menanam pohon, mengurangi sampah plastik, atau memilih konsumsi lokal adalah tindakan iman yang lahir dari kesadaran bahwa waktu dan ciptaan adalah anugerah. 

Di era digital, banyak orang merasa waktu selalu kurang. Slow living theology mengubah perspektif ini dengan menegaskan bahwa waktu adalah ciptaan Tuhan yang suci. Memperlakukannya dengan hormat berarti tidak mengisinya hanya dengan produktivitas tanpa henti, tetapi juga dengan ritme istirahat, ibadah, dan sukacita sederhana. Praktik melambat dalam teologi ini tidak berarti anti-ambisi atau pasif terhadap masalah dunia. Justru dengan melambat kita bisa bertindak lebih bijak dan strategis. Keputusan yang diambil dengan pertimbangan matang, doa yang mendalam, dan dialog yang penuh perhatian cenderung membawa dampak yang lebih berkelanjutan daripada reaksi cepat yang terburu-buru. 

Slow living theology juga memberi kesempatan bagi kita untuk mengintegrasikan iman dan kehidupan sehari-hari. Di dunia yang terfragmentasi oleh jadwal, pekerjaan, dan hobi yang terpisah dari iman, melambat membantu kita melihat bahwa semua aspek hidup adalah bagian dari ibadah. Memasak untuk keluarga, berjalan kaki ke pasar, atau berbincang dengan tetangga bisa menjadi ruang perjumpaan dengan Allah. Pengaruh “cult of speed” dalam budaya modern sering menggeser spiritualitas dari kedalaman menjadi sesuatu yang banal atau datar saja. Banyak orang mengejar jumlah pembacaan Alkitab per tahun, tetapi melupakan meditasi mendalam atas satu ayat. Slow living theology mengajak kita kembali pada keheningan yang memungkinkan Firman Tuhan itu benar-benar meresap dalam penghayatan. 

Dalam konteks gereja digital, slow living theology menuntut adaptasi. Liturgi daring dan persekutuan virtual harus dirancang bukan hanya untuk efisiensi, tetapi juga untuk kedalaman. Ibadah online bisa diatur sedemikian rupa sehingga memberi ruang untuk hening, doa pribadi, dan refleksi; bukan sekadar tayangan cepat yang segera berganti. Gereja yang menerapkan prinsip melambat akan lebih peka terhadap kebutuhan emosional jemaat. Alih-alih hanya mengukur keberhasilan dari jumlah program atau pertumbuhan angka kehadiran, gereja bisa menilai kesehatannya dari kualitas relasi yang terbangun. 

Melambat juga berarti memberi tempat bagi narasi yang lebih panjang dalam memberitakan kabar baik (Injil). Di dunia media sosial, pesan Injil sering dipadatkan menjadi slogan singkat. Slow living theology mengingatkan bahwa kisah penyelamatan Allah adalah narasi agung yang layak diceritakan dengan kesabaran, detail, dan keindahan. Dalam pendidikan teologi, konsep ini mengajak para pendidik dan mahasiswa untuk tidak hanya mengejar gelar atau publikasi, tetapi juga membentuk karakter dan kedalaman spiritual. Proses belajar yang melambat memungkinkan integrasi antara pengetahuan akademis dan kehidupan rohani. 

Slow living theology pun mendorong kita untuk menghargai relasi lintas generasi. Di tengah budaya yang sering mengidolakan yang muda dan cepat, melambat memberi ruang bagi kebijaksanaan orang tua, pengalaman hidup yang panjang, dan cerita iman yang mengakar. Melalui lensa misi, melambat berarti mendengarkan sebelum berbicara, memahami sebelum bertindak. Pendekatan ini kontras dengan misi yang tergesa-gesa mengukur keberhasilan dari jumlah baptisan atau gereja yang berdiri. Slow living theology melihat misi sebagai perjalanan panjang membangun kepercayaan dan kasih. 

Dalam konteks krisis global, baik pandemi maupun perubahan iklim, slow living theology membantu kita merespons dengan ketenangan yang terarah. Alih-alih panik atau mengambil keputusan reaktif, kita diajak untuk merenung, berdoa, dan bertindak dengan hikmat. Aspek penting lain adalah membangun kesadaran akan batas. Melambat mengajarkan bahwa kita tidak harus mengerjakan semuanya, mengetahui semuanya, atau hadir di semua tempat. Ada keindahan dalam menerima keterbatasan karena di situlah kita belajar bergantung pada Tuhan. 

Teologi ini mengandung unsur rekonsiliasi dengan diri sendiri. Banyak orang hidup dalam tekanan untuk menjadi versi “terbaik” yang diukur oleh standar dunia. Melambat memberi kita waktu untuk mengenali siapa kita di hadapan Allah, tanpa topeng atau pencitraan. Bagi masyarakat yang hidup di kepulauan atau pedesaan, slow living theology sering terasa lebih alami. Ritme alam, tradisi lokal, dan komunitas yang erat menjadi laboratorium hidup bagi praktik ini. Namun, di kota besar pun, prinsip ini tetap bisa dihidupi dengan kesadaran dan komitmen. Penerapan slow living theology bisa dimulai dari langkah kecil: mengurangi jumlah aktivitas dalam sehari, mematikan ponsel saat berdoa, atau berjalan kaki sambil mengucap syukur. Kebiasaan kecil ini, jika dilakukan konsisten, membentuk cara pandang baru terhadap waktu dan hidup. 

Pada akhirnya, slow living theology adalah ajakan untuk menghidupi iman dengan ritme yang selaras dengan kasih karunia. Bukan melarikan diri dari dunia, melainkan hadir penuh di dalamnya dengan hati yang tenang. Di dunia yang selalu berlari, memilih melambat adalah tindakan berani. Teologi ini mengingatkan bahwa Allah tidak terburu-buru, dan karya-Nya sering berlangsung dalam proses panjang yang penuh kesabaran. Melambat membuat kita sadar bahwa hidup adalah anugerah, bukan proyek yang harus selesai secepat mungkin. Dalam kesadaran itu, kita bisa menemukan sukacita yang dalam, kedamaian yang langgeng, dan relasi yang utuh dengan Allah, sesama, dan ciptaan.
Read more ...

Friday, August 8, 2025

Berpengetahuan sebagai Kemerdekaan: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Paulo Freire

Kemerdekaan, sebagaimana dimaknai oleh para pendiri bangsa pada 17 Agustus 1945, merupakan suatu proses pembebasan yang tidak hanya bersifat politis, tetapi juga kultural dan epistemologis. Delapan puluh tahun setelah proklamasi, Indonesia telah menempuh perjalanan panjang, penuh dinamika dan tantangan dalam merealisasikan cita-cita kemerdekaan sejati. Namun, pertanyaan fundamental harus diajukan: apakah kemerdekaan politik telah bertransformasi menjadi kemerdekaan berpikir dan berpengetahuan bagi setiap warga negara? Untuk menjawab pertanyaan ini, filsafat pendidikan Paulo Freire menyediakan kerangka kritis yang tajam dan relevan. 

Paulo Freire, dalam karya magnum opus-nya Pedagogy of the Oppressed (1970), mengemukakan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan. Ia menolak model pendidikan “bank” yang menempatkan peserta didik sebagai objek pasif, yang hanya menerima dan menyimpan informasi tanpa makna kritis. Bagi Freire, pengetahuan adalah hasil dialog, praksis, dan refleksi kritis yang terus-menerus terhadap realitas. Dalam konteks Indonesia pasca-80 tahun kemerdekaan, refleksi ini sangat penting, mengingat sistem pendidikan nasional masih didominasi oleh paradigma transfer ilmu secara satu arah. Kemerdekaan sejati adalah kemampuan untuk bertanya, meragukan, menafsirkan, dan mencipta makna atas kenyataan hidup. Dalam perspektif Freirean, berpengetahuan adalah tindakan politis yang menuntut kesadaran kritis (conscientização) dan partisipasi aktif dalam membongkar struktur-struktur penindasan yang masih bercokol di ranah sosial, ekonomi, maupun kebudayaan. Proklamasi kemerdekaan seharusnya menjadi fondasi bagi gerakan pembebasan pengetahuan yang demokratis, bukan sekadar seremoni tahunan yang kehilangan spirit emansipatorisnya.

Delapan dekade setelah kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada problem disparitas akses pendidikan, polarisasi ideologi, komodifikasi pengetahuan, serta penetrasi teknologi digital yang ambivalen. Di satu sisi, teknologi membuka akses informasi; di sisi lain, ia menjerumuskan masyarakat pada banjir data tanpa kemampuan literasi kritis. Dalam situasi ini, gagasan Freire tentang pendidikan dialogis menjadi sangat relevan: pendidikan bukan sekadar proses menyerap informasi, melainkan proses menafsirkan, merefleksikan, dan bertindak atas kenyataan sosial yang dihadapi. Freire menegaskan bahwa pengetahuan sejati lahir dari dialog yang egaliter antarsubjek, bukan antara guru sebagai pemilik pengetahuan dan murid sebagai penerima pasif. Dalam kerangka ini, relasi antara negara, pendidik, dan peserta didik harus dibangun di atas penghargaan terhadap otonomi berpikir dan pengalaman hidup setiap individu. Refleksi terhadap 80 tahun kemerdekaan harus bertolak dari kritik terhadap praktik pendidikan yang masih bersifat otoriter, menindas, dan tidak relevan dengan kebutuhan riil masyarakat.

Proklamasi kemerdekaan bukanlah akhir, melainkan pintu gerbang bagi proses pembebasan yang berkelanjutan. Pendidikan, menurut Freire, adalah praksis transformasi: refleksi dan aksi dalam rangka mengubah realitas yang menindas menjadi ruang bagi kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, proses ini menuntut dekolonisasi kurikulum, bahasa, dan praktik-praktik pedagogis yang selama ini masih menyisakan warisan kolonial dan feodal. Delapan puluh tahun kemerdekaan bukan sekadar penanda waktu, melainkan momentum untuk mengevaluasi secara radikal relasi antara pengetahuan dan kebebasan. Pendidikan sebagai upaya pembebasan harus mendorong lahirnya individu-individu yang berdaya, kritis, dan mampu mengambil keputusan secara otonom. Konsep “conscientização” Freire menegaskan bahwa kesadaran kritis tidak lahir dari indoktrinasi, melainkan dari pengalaman dialogis, refleksi, dan keterlibatan aktif dalam proses belajar.

Kenyataan pahitnya, pendidikan di Indonesia masih sering menjadi instrumen domestikasi, penjinakan kesadaran dan reproduksi ketundukan pada kekuasaan. Ini tampak dalam praktik-praktik pembelajaran yang menekankan hafalan, ujian standar, dan penyeragaman nilai tanpa mempertimbangkan konteks sosial peserta didik. Dalam perspektif Freire, pendidikan seperti ini adalah bentuk baru penjajahan mental (cultural invasion) yang dengannya peserta didik dijauhkan dari kemampuan bertanya, meragukan, dan membebaskan diri. Merefleksikan kemerdekaan melalui lensa Freire berarti mengakui bahwa berpengetahuan adalah hak fundamental setiap manusia untuk memahami dan mengubah dunianya. Kemerdekaan sebagai peristiwa politik hanya berarti jika diikuti oleh kemerdekaan berpikir dan berpengetahuan, sebab tanpa itu, bangsa yang merdeka secara formal tetap terjajah secara epistemologis. Freire menulis, “tidak ada pendidikan netral: pendidikan membebaskan atau menindas” (Freire, 1970, hlm. 79).

Di tengah gelombang globalisasi dan kapitalisasi pengetahuan, Indonesia menghadapi tantangan berat: bagaimana memastikan setiap warganya mampu mengakses pengetahuan yang memerdekakan, bukan pengetahuan yang membelenggu. Pendidikan yang membebaskan harus mampu menjawab realitas ketimpangan, marjinalisasi, dan dehumanisasi yang masih mewarnai kehidupan bangsa. Di sinilah pentingnya rekontekstualisasi Freire dalam kebijakan pendidikan nasional, agar orientasi pendidikan tidak sekadar memenuhi kebutuhan pasar, tetapi membangun manusia merdeka. Freire menekankan pentingnya dialog sebagai medium utama dalam pembentukan kesadaran kritis. Dalam konteks Indonesia, dialog antarbudaya, antargenerasi, dan antarkelas sosial merupakan prasyarat untuk membangun ekosistem pengetahuan yang inklusif. Proklamasi kemerdekaan 80 tahun lalu harus dimaknai sebagai komitmen kolektif untuk terus memperjuangkan ruang-ruang dialogis di seluruh sektor kehidupan, termasuk pendidikan, kebudayaan, dan politik.

Ketika pendidikan berubah menjadi proses transformasi sosial, pengetahuan bukan lagi milik segelintir elite, melainkan hak seluruh rakyat. Transformasi ini menuntut negara untuk mereformasi sistem pendidikan agar menjadi ruang bagi subjek yang otonom, bukan objek yang didikte. Dalam hal ini, semangat kemerdekaan harus diwujudkan dalam kebijakan afirmatif yang berpihak pada kelompok marjinal, daerah tertinggal, dan komunitas adat. Dalam praktiknya, pendidikan yang membebaskan menuntut peran aktif pendidik sebagai fasilitator, bukan otoritas tunggal. Pendidik harus hadir sebagai mitra dialogis yang bersama-sama peserta didik mengidentifikasi masalah-masalah sosial, menganalisis struktur penindasan, dan merumuskan solusi kreatif berbasis pengalaman konkret. Refleksi kritis atas perjalanan 80 tahun kemerdekaan Indonesia harus menyoroti tantangan besar: sistem pendidikan yang masih sentralistik, minim partisipasi, dan terlalu birokratis.

Freire mengingatkan bahwa pengetahuan adalah kekuatan untuk menafsirkan dan mengubah dunia. Pendidikan dalam konteks Indonesia harus menjadi wahana untuk membangun nalar kritis, bukan sekadar memperbanyak lulusan tanpa kepekaan sosial. Delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya menjadi titik balik untuk memperjuangkan pendidikan yang membebaskan, relevan, dan kontekstual dengan realitas bangsa. Sejarah panjang kolonialisme di Indonesia telah meninggalkan warisan traumatik dalam hal produksi dan distribusi pengetahuan. Pengalaman ini seharusnya menjadi dasar untuk menegaskan urgensi dekolonisasi pengetahuan, yakni pengakuan atas keragaman epistemologi lokal, bahasa ibu, dan kearifan budaya yang selama ini terpinggirkan dalam sistem pendidikan nasional. Dalam kerangka Freire, pendidikan harus menjadi alat dekolonisasi, bukan rekolonisasi.

Delapan puluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, relasi antara pengetahuan dan kemerdekaan tetap menjadi medan pertempuran yang genting. Pengetahuan yang membebaskan adalah pengetahuan yang membuka ruang bagi rekognisi identitas, partisipasi politik, dan perlawanan terhadap ketidakadilan struktural. Pendidikan sebagai praksis kemerdekaan harus terus didorong melalui reformasi kurikulum, pelatihan pendidik, dan partisipasi masyarakat sipil. Freire menegaskan, setiap proses belajar harus dimulai dari pengalaman hidup peserta didik — dari “konteks konkret” — bukan dari abstraksi yang jauh dari realitas sosial. Dengan demikian, pendidikan yang membebaskan dan kontekstual di Indonesia harus relevan dengan persoalan-persoalan masyarakat: kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, korupsi, hingga krisis ekologis. Berpengetahuan berarti mampu mengaitkan pengetahuan akademik dengan praksis sosial yang membangun keadilan.

Transformasi pendidikan dalam semangat kemerdekaan harus diarahkan pada pengembangan subjek yang kritis, partisipatif, dan transformatif. Dalam kerangka Freire, pendidikan adalah ruang “menjadi manusia” secara penuh, proses menjadi subjek yang sadar, reflektif, dan mampu bertindak atas realitas. Proklamasi kemerdekaan hanya akan bermakna jika sistem pendidikan menghasilkan manusia-manusia merdeka, bukan sekadar pekerja yang patuh pada logika pasar. Berpengetahuan sebagai kemerdekaan bukan slogan kosong, melainkan komitmen untuk menjadikan pendidikan sebagai ruang emansipasi sosial. Komitmen ini harus diterjemahkan ke dalam kebijakan, kurikulum, dan praksis pembelajaran di setiap level pendidikan. Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah waktu yang cukup untuk belajar dari kegagalan masa lalu dan membangun pendidikan baru yang berpihak pada rakyat.

Praksis pendidikan Freirean menuntut keterlibatan masyarakat sipil, komunitas lokal, dan aktor-aktor pendidikan untuk membangun ekosistem pengetahuan yang demokratis. Pendidikan harus menjadi medium dialog, negosiasi, dan rekonstruksi makna-makna sosial yang relevan dengan tantangan zaman. Dalam konteks ini, universitas, sekolah, dan komunitas belajar harus menjadi ruang otonomi intelektual, bukan sekadar perpanjangan tangan negara atau pasar. Penting di sini untuk menyoroti peran negara dalam menjamin kebebasan akademik, pluralisme pengetahuan, dan akses pendidikan berkualitas bagi seluruh warga negara. Negara tidak boleh berperan sebagai penentu tunggal kebenaran ilmiah, melainkan sebagai fasilitator yang memastikan setiap warga dapat berkembang menjadi subjek yang merdeka dan berdaya.

Kemerdekaan adalah proses panjang, bukan capaian statis. Proklamasi hanyalah awal; tantangan sejati terletak pada upaya kolektif membangun masyarakat berpengetahuan, beradab, dan berkeadilan. Dalam kerangka Freire, pendidikan membebaskan adalah pendidikan yang mendorong keberanian untuk bermimpi, bertanya, dan mengubah dunia. Pendidikan semacam ini adalah fondasi bagi bangsa yang benar-benar merdeka.

Namun, mesti pula diakui secara jujur bahwa delapan puluh tahun kemerdekaan belum cukup untuk membongkar praktik pendidikan yang menindas. Birokratisasi, komersialisasi, dan politisasi pendidikan masih menjadi masalah serius. Banyak sekolah masih menekankan kepatuhan, bukan keberanian berpikir kritis. Banyak universitas masih sekadar menjadi mesin produksi tenaga kerja, bukan pusat pembebasan pengetahuan. Oleh karena itu, refleksi kritis harus diarahkan pada pengembangan strategi pembelajaran yang berbasis dialog, pengalaman hidup, dan proyek sosial. Guru harus menjadi “pemimpin dialogis”, yang menumbuhkan kesadaran kritis dan solidaritas sosial di antara peserta didik. Hanya dengan cara ini, pendidikan dapat menjadi alat pembebasan, bukan instrumen penjinakan. Freire mengajarkan bahwa transformasi sosial melalui pendidikan membutuhkan “aksi-refleksi” (praxis). Delapan dekade kemerdekaan mengajarkan pentingnya kontinuitas perjuangan: kemerdekaan sejati adalah proses tak berujung untuk melawan segala bentuk penindasan, termasuk penindasan epistemologis dalam pendidikan. Pendidikan yang membebaskan adalah investasi jangka panjang untuk bangsa yang ingin merdeka secara hakiki.

Berpengetahuan adalah kekuatan. Namun, kekuatan ini hanya bermakna jika digunakan untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Sebagai refleksi kemerdekaan nasional, bangsa Indonesia harus berani mengevaluasi sistem pendidikan yang ada dan berkomitmen untuk membangun pendidikan pembebasan yang sejati. Hanya dengan pendidikan semacam itu, kemerdekaan akan bermakna penuh, menjadi jalan pembebasan manusia dari segala bentuk keterbelakangan dan penindasan. Proses pembebasan tidak pernah final; ia selalu dalam proses menjadi. Kemerdekaan Indonesia pun demikian: ia adalah cita-cita yang terus-menerus diperjuangkan melalui praktik-praktik pendidikan yang membangun nalar kritis dan solidaritas. Pendidikan membebaskan harus menjadi agenda kolektif, bukan sekadar proyek elite politik atau teknokrat. Transformasi sistem pendidikan menuntut perubahan paradigma: dari pendidikan untuk pasar ke pendidikan untuk kemanusiaan. Dari pendidikan yang menyesuaikan pada kebutuhan ekonomi semata, ke pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis, kreativitas, dan solidaritas sosial. Pendidikan semacam ini adalah warisan terbesar yang dapat diberikan kepada generasi penerus bangsa.

Berpengetahuan sebagai kemerdekaan juga berarti keberanian untuk meragukan dan menafsir ulang warisan masa lalu. Refleksi kritis terhadap sejarah pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa tantangan terbesar bukan terletak pada kecerdasan individu, tetapi pada keberanian kolektif untuk mengubah sistem yang menindas. Delapan puluh tahun kemerdekaan harus menjadi momentum untuk menata ulang relasi pengetahuan dan kekuasaan. Kemerdekaan sejati adalah keberanian untuk menjadi subjek, bukan objek dari sejarah. Pendidikan harus membentuk manusia yang berani mengambil posisi, mempertanyakan ketidakadilan, dan memperjuangkan perubahan. Dalam semangat Freire, pendidikan adalah proyek pembebasan yang tiada henti.

Pada akhirnya, refleksi atas 80 tahun proklamasi kemerdekaan menegaskan kembali pentingnya pendidikan sebagai praksis kemerdekaan. Pendidikan yang membebaskan adalah syarat mutlak bagi bangsa yang ingin berdiri tegak di tengah tantangan global. Dalam perspektif Freire, setiap warga negara adalah subjek sejarah, dan berpengetahuan adalah hak sekaligus tanggung jawab untuk mengubah dunia. Momentum kemerdekaan ini harus dijadikan refleksi kolektif untuk membangun sistem pendidikan yang membebaskan, inklusif, dan demokratis. Pendidikan seperti inilah yang mampu memperkuat kemerdekaan sebagai hak asasi, bukan sekadar retorika politik. Pendidikan membebaskan adalah pendidikan yang melahirkan manusia merdeka, manusia yang berpikir, berani, dan bertindak untuk kebaikan bersama. Dalam konteks Indonesia kontemporer, tantangan terbesar adalah membangun sinergi antara kebijakan negara, partisipasi masyarakat, dan inisiatif komunitas dalam membangun ekosistem pengetahuan yang merdeka. Hanya dengan jalan ini, bangsa Indonesia dapat merealisasikan cita-cita kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan untuk berpengetahuan, berkarya, dan membangun peradaban yang adil dan beradab.

Refleksi 80 tahun kemerdekaan Indonesia dalam perspektif Paulo Freire menegaskan: berpengetahuan adalah bentuk kemerdekaan tertinggi, dan pendidikan membebaskan adalah fondasinya. Sudah saatnya bangsa ini menata ulang orientasi pendidikan agar benar-benar berpihak pada rakyat, membangun manusia merdeka, dan memastikan kemerdekaan bukan sekadar kata, tetapi praksis hidup sehari-hari. Dengan kesadaran ini, setiap insan Indonesia diundang untuk terus bertanya, belajar, dan berjuang. Pendidikan membebaskan bukan utopia; ia adalah keniscayaan sejarah yang harus terus diperjuangkan. Kemerdekaan bukan sekadar proklamasi—ia adalah praksis pengetahuan yang membebaskan manusia dan membangun masa depan bersama.
Read more ...

Sunday, March 2, 2025

Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar


Judul: Teologi Kontekstual – Suatu Pengantar 
Penulis: Steve G. C. Gaspersz 
Penerbit: Aseni 
Tahun: 2025 

Pengalaman mengajar Matakuliah Teologi Kontekstual di Fakultas Teologi UKIM memberikan peluang bagi penulis buku ini untuk melakukan eksplorasi kepustakaan seputar teori, model, sejarah, dan studi kasus tentang “teologi” dan “konteks”. Dari pengalaman itu, makin menguat kesadaran bahwa lingkup jelajah studi teologi kontekstual itu sangat luas dan kompleks. Apalagi jika menempatkan konsep teologi kontekstual itu sebagai paradigma dari semua teologi: semua teologi adalah teologi yang kontekstual karena merupakan ekspresi intelektualitas dan spiritualitas yang dibentuk oleh komunitas beriman yang menghidupi konteks tertentu. Pada hakikatnya, setiap teologi berpijak pada dan berakar dalam “tanah” (konteks) yang spesifik. 

Proses pembelajaran teologi kontekstual (sebagai matakuliah) yang selama ini dilakoni dalam tugas sebagai dosen lebih diarahkan untuk menjelajahi berbagai kepustakaan dan latihan pengamatan/penelitian agar para pembelajar teologi (terutama mahasiswa) dapat menangkap nuansa kontekstual yang terungkap melalui percakapan dan dialog dengan berbagai komunitas yang hidup dalam berbagai lokus. Sementara pada sebelah lain, tidak banyak waktu yang dapat dialokasikan untuk melakukan semuanya itu secara utuh dalam proses perkuliahan. Padahal spektrum teologi dan konteks yang hendak didialogkan melalui artikulasi “teologi kontekstual” itu sangat luas. Yang tercapai kemudian, dari pengalaman tersebut, adalah pemahaman yang sangat parsial dan terbatas dalam memahami postur epistemik teologi kontekstual. 

Secara keseluruhan, peta jalan untuk studi lanjutan dalam teologi kontekstual, menurut penulis buku ini, mencakup penelusuran historis, eksplorasi lintas-budaya, dan dialog teologis yang dinamis. Kekayaan teologi kontekstual terletak pada keberaniannya untuk menghadapi perubahan dan beradaptasi dengan konteks-konteks baru, sambil tetap berpegang pada inti dari pesan Injil. Ini adalah proses yang membutuhkan keterbukaan untuk belajar dari budaya-budaya lain dan menerima bahwa setiap budaya memiliki kontribusi yang penting dalam memahami Kristianitas secara lebih komprehensif. 

Buku kecil ini lahir dari kenyataan dan keprihatinan penulisnya. Tidak ada pretensi untuk menyajikan suatu ensiklopedia teologi kontekstual di dalamnya. Yang ingin dicapai hanyalah suatu perspektif jendela yang memberi kesempatan kepada para pembelajar teologi kontekstual untuk melihat keluasan cakrawala teologi kontekstual tersebut dari bingkai jendela yang terbatas. Dari situ, setidaknya para pembelajar teologi dapat mencermati bahwa teologi kontekstual menampilkan kekayaan perspektif teoretik dan empirik yang menantang untuk dilanjutkan dengan kerja-kerja penelitian yang lebih konkret. Artinya, setelah melihat dari jendela, ada dorongan untuk menjumpai realitas dengan cara keluar melalui pintu dan merasakan atau terlibat dalam pengalaman-pengalaman sosial dan kebudayaan bersama komunitas. Dengan pemahaman itu, penulisnya secara sengaja menggunakan diksi “jendela” ketimbang “bab” (seperti lazimnya pada suatu buku).***
Read more ...

Sunday, April 21, 2024

Bahasa Basudara Cafe

Grand opening of Bahasa Basudara Cafe. My daughter really enjoyed the atmosphere of the cafe, which invites visitors to use English. Drinking coffee while sharing stories in English. Especially being able to meet the initiator of BB Cafe, oom Jeff Malaihollo.  

It was also great to enjoy kosugusa with Sonny Hetharia , Prof. Fridus Steijlen, Prof. Jance Rumahuru, Prof. Juliaans E Marantika , Abdul Manaf Tubaka , Abidin Wakano , Hilary Syaranamual  and others. 

The cafe was created as a place to practice English in a relaxed and fun atmosphere for young Ambonese. Some of those who study with Bahasa Basudara have got scholarships to study abroad or have been accepted to study at renowned universities in Indonesia.

*kosugusa = kopi susu gula saparua

Read more ...

Thursday, May 25, 2023

GPM: Gereja Bagi Semesta - Secuil Refleksi Diri dari Marjin Kiri


Tulisan ini dibuat dalam kurun waktu selama dua minggu saat media sosial penuh sesak dengan berbagai informasi atau berita tentang pembangunan rumah gereja di beberapa jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) sekaligus menyeruaknya perlawanan komunitas adat Marafenfen di Kepulauan Aru. Secara subjektif, wacana pembangunan rumah gereja, di satu sisi, dan gugatan Marafenfen menuntut keadilan di negeri ini, di sisi lain, seolah menampilkan tayangan kontradiktif dari pergulatan spiritualitas kemanusiaan yang pada galibnya menjadi fondasi dari laku dan pikir keberagamaan. 

Pembangunan rumah gereja dengan segala kemegahannya tentu sudah menjadi bagian dari perencanaan jemaat yang bersangkutan, yang pada derajat tertentu sudah diperhitungkan secara matang mulai dari tahap awal hingga peresmiannya. Keberadaan rumah gereja yang memadai, kendati dinilai cukup mewah oleh sejumlah kalangan, sudah pasti disesuaikan dengan kebutuhan jemaat setempat akan fasilitas kebaktian yang mampu menampung warga jemaat dan menjadi wadah bagi seluruh aktivitas pelayanan jemaat. Namun, hal yang tidak dapat disangkali bahwa pembangunan rumah gereja juga dapat dimaknai sebagai penampakan simbol keagamaan yang berhimpitan dengan ekspresi identitas keagamaan. Dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, khususnya Maluku, himpitan keduanya kerap termanifestasi di ruang-ruang publik, yang cukup berpotensi menimbulkan gesekan konflik jika tidak dikelola secara bijak dan bajik. 

Pada realitas yang lain, sekelompok komunitas adat sedang bergulat dengan kelindan kuasa yang menganeksasi hak-hak kemanusiaan mereka atas tanah yang telah didiami turun-temurun dan menyatu dalam kosmologi kebudayaan sebagai bagian dari identitas sosial mereka. Kelindan kepentingan politik-ekonomi tersebut mengerucut pada pertarungan kuasa antara pendakuan kultural tanah hidup yang selama ratusan generasi menjadi pijakan ekspresi identitas mereka sebagai “manusia laut-pulau” (Aru), dengan kuasa institusi negara yang direpresentasikan oleh lembaga militer bentukan negara. 

Pada tautan mana kedua realitas tersebut dapat dipahami? Pada pijakan perspektif eksistensial, tautan kedua realitas tersebut ada pada simpul panggilan solidaritas kemanusiaan yang dengannya nilai-nilai religiositas menjadi preferensi utama untuk memberi bobot makna bagi kehidupan bersama semesta. Dengannya, religiositas tidak terbelenggu secara beku-kaku pada bentuk-bentuk simbolik yang ditampilkan hanya sebagai pengukuhan identitas keagamaan seseorang atau satu komunitas yang menafikan relasi-relasi kemanusiaan sebagaimana akhir-akhir ini kian tenggelam di tengah hiruk-pikuk kapitalisasi gaya hidup. 

Apa yang sedang digaungkan sebagai solidaritas kepada komunitas Marafenfen yang sedang berhadapan dengan kekuatan (institusi) negara, sebenarnya bukan fenomena dan fakta baru. Banyak peristiwa serupa terjadi tanpa sempat direkam. Ada pula sejumlah kasus perseteruan negara dan masyarakat sipil yang sempat direkam, baik melalui artikel-artikel penelitian maupun publikasi buku seperti “Potret Orang Kalah” (terbit tahun 2004 meskipun laporan penelitiannya telah beredar sejak 1993). 

Kasus Marafenfen dan kasus-kasus serupa lainnya, baik yang terjadi di Kepulauan Maluku maupun di wilayah-wilayah lain komunitas budaya Indonesia, memperlihatkan bahwa “tubuh” kemanusiaan sebagian komunitas sedang mengalami sakit kronis yang disebabkan oleh keserakahan dan ketidakadilan oleh sebagian pihak lain (individu atau institusi) yang merasa memiliki kuasa dan/atau menggunakan kuasa pada dirinya secara sewenang-wenang. Dalam konteks semacam itu, panggilan pelayanan kristiani semestinya melampaui segala bentuk simbolik yang hanya berfungsi sekadar sebagai penanda identitasnya. Konteks pelayanan kemanusiaan yang sedang diciderai oleh praktik-praktik ketamakan kapitalistik yang pada gilirannya dimanifestasikan melalui tindakan-tindakan yang tidak adil, sebenarnya mesti menjadi panggilan kristiani untuk berpihak, membela dan memulihkan harkat-martabat kemanusiaan semua orang. Suatu upaya membangun “gereja” kemanusiaan yang bergerak leluasa menjumpai semua orang dan memikul salib sosial yang dibuat dan dipancangkan oleh kepongahan kuasa-kuasa bagi segelintir orang. 

Rumah gereja merupakan simbol yang di dalamnya secara eksklusif gereja merangkul berbagai kelompok manusia dengan beraneka latar belakang kehidupan. Oleh karenanya, pembangunan rumah gereja hanyalah bagian terkecil dari cara orang Kristen melakukan panggilan kristiani di tengah-tengah dunia. Malah pada sudut pandang tertentu, meskipun dianggap penting bagi komunitas Kristen, tetapi itu sebenarnya membatasi ruang gerak komunitas Kristen untuk menjumpai sesamanya yang lain (liyan). Padahal, dari akar katanya ecclesia, gereja itu sendiri adalah suatu gerak keluar dari berbagai sekat identitas, sebagaimana kasih, karya dan pengorbanan Kristus yang bergerak keluar dari dirinya sendiri, egonya sendiri, kenikmatannya sendiri, untuk menjumpai liyan dalam situasi hidup mereka secara konkret. Itulah basis utama eklesiologi. 

Jika demikian halnya, maka eklesiologi gereja (GPM) sudah sejak kelahirannya telah dan masih bergelut dengan realitas pemiskinan struktural dan ketimpangan politik pembangunan seperti yang tampak dari bermacam-macam peristiwa gugatan komunitas-komunitas kepulauan Maluku. Tidak ada pilihan lain dari panggilan kristiani dan pengutusan eklesiologis GPM selain bergelut bersama komunitas-komunitas Kepulauan Maluku ini, bahkan dengan semua komunitas budaya/agama Indonesia, untuk membangun “gereja kemanusiaan” yang melaluinya GPM melibatkan diri secara sengaja, menentukan keberpihakan secara jelas pada nilai-nilai kemanusiaan yang dilindas oleh kepongahan kuasa, dan memikul salib Kristus yang telah dibebankan sebagai misi eternal kristiani. Seluruh proses itu pada hakikatnya hendak mengarahkan orientasi eklesiologis GPM pada tindakan-tindakan etis-pastoral membangun “gereja kemanusiaan” atau yang selalu saya sebut sebagai “gereja bagi semesta” (GBS). [Lihat Steve G. C. Gaspersz & Nancy N. Souisa, “Sailing through the waves: Ecclesiological experiences of the Gereja Protestan Maluku archipelago congregations in Maluku.” HTS Teologiese Studies/Theological Studies 77(4), a6861. https://doi.org/10.4102/hts.v77i4.6861] 

Pada pijakan ontologis “gereja bagi semesta” itu maka seluruh energi eklesiologis GPM seyogyanya diarahkan bagi penguatan pilar-pilar keagamaan dan kebudayaan yang memungkinkan semua orang (dari berbagai latar belakang kehidupan) membangun kehidupan bersama yang setara dan egaliter. Prinsip kesetaraan dan egalitarianisme yang melandasi “gereja bagi semesta” tersebut menempatkan GPM di luar pagar doktrinalnya dalam membangun komunikasi sosio-teologis bagi pembelaan kemanusiaan yang digilas oleh kesewenang-wenangan kuasa. Lebih lanjut, dengan prinsip kesetaraan dan egalitarianisme itu pula “gereja bagi semesta” didobrak untuk melihat ke dalam dirinya sendiri apakah dasar-dasar etika sosial kristiani seperti yang diperlihatkan Kristus masih menjadi acuan bagi pengembangan pelayanan pastoral kristiani yang lebih holistik ketimbang partikularistik dan sektarianistik. 

Catatan kecil ini hanya secuil refleksi dari pinggiran – yang saya sebut sebagai marjin kiri – untuk terus-menerus menyegarkan ingatan akan narasi-narasi kemanusiaan yang selalu digemakan dari mimbar-mimbar gereja. Kehadiran GPM – kendati selalui dibungkus dengan pleidoi teologis yang romantik – adalah karya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, berbagai bentuk tindakan yang terarah pada upaya merusak hakikatnya sebagai “gereja bagi semesta” tidak dapat diabaikan atau disembunyikan di balik kemeriahan membangun rumah/gedung gereja yang hanya berhenti pada pemaknaan simbolik sebagai katup pengaman identitas yang eksklusif.
Read more ...

Thursday, February 9, 2023

Heka-Leka: Telusur Makna Teologis dalam Ide Kebudayaan Maluku




Kontekstualisasi teologi merupakan pergumulan gereja yang tumbuh dalam suatu konteks kebudayaan di suatu tempat dan pada masa tertentu. Kontekstualisasi teologi dapat dipahami sebagai desakan agar seluruh ekspresi kehidupan manusia yang termanifestasi dalam berbagai matra kebudayaan mampu dimaknai sebagai pantulan iman kepada Allah. Dalam perkembangannya, wacana kontekstualisasi teologi berproses dalam berbagai benturan dan kritik yang melahirkan beragam pendekatan dan model. 

Studi ini merupakan bagian dari upaya memaknai “teologi” sebagai ekspresi hidup beriman yang digali dari pandangan dunia suatu masyarakat yang sedang bergumul dengan eksistensi dan identitas kristiani vis-à-vis kebudayaan atau adat. Pergulatan melalui adat telah membentuk karakteristik misi dan eklesiologi yang khas dalam sejarah gereja di Maluku. Di Maluku, khususnya Ambon, pengertian “adat” mencakup keseluruhan arti dari hukum adat, kebiasaan (mores) dan kebiasaan umum (folkways), kendati dalam praktik lebih mendekati pengertian “kebiasaan”. Adat juga dipercaya sebagai tradisi warisan leluhur yang menegakkan persekutuan komunitas negeri dan menjadi pola hidup generasi seterusnya. Interpretasi budaya atas adat dan realitas hidup sosial sehari-hari sangat dipengaruhi oleh pandangan dunia (worldview) masyarakat setempat. Pandangan dunia terbentuk sebagai refleksi atas pengalaman hidup masyarakat dalam sejarah dan konteks sosial setempat, juga dari hasil perjumpaan dengan liyan dari berbagai kebudayaan lain. 

Salah satu bentuk pemahaman atas realitas keseharian dan penafsiran makna simbolik membentuk pandangan dunia yang disebut heka-leka, yang secara harfiah berarti “perang /pecah (heka) untuk dilahirkan kembali (leka)”. Secara implisit konsep heka-leka dapat ditemukan dalam setiap masyarakat (dengan terminologi yang beragam). Di Ambon-Lease, khususnya di Negeri Naku yang menjadi fokus penelitian, heka-leka itu tidak lagi begitu dikenal meski secara intrinsik tetap menjadi bagian dari struktur kesadaran adatis dan sosiologis. Selain muncul dalam ungkapan-ungkapan sehari-hari, pandangan heka-leka ini secara mendasar termanifestasi dalam tiga kategori, yakni [1] dalam sistem kepercayaan, [2] dalam narasi mitologi/ritual dan [3] dalam realitas pengalaman sehari-hari. 

Pencarian makna heka-leka melalui penelusuran ketiga kategori tersebut, yang tercermin dari jaringan makna sistem sosial, membawa pada suatu kristalisasi makna yang substansial. Sebagai suatu konsep kebudayaan partikular, heka-leka ternyata menjadi representasi kesadaran reflektif kemanusiaan universal yang mencakup nilai-nilai sebagai berikut: keberanian untuk hidup dalam perbedaan (koeksistensi), menampung ketegangan (dialektis), menjaga keseimbangan (harmonis), berpengharapan (optimis), menentang dominasi (ekualitas) dan menolak kemapanan (dinamis). Nilai-nilai tersebut memberi peluang untuk dijadikan dasar bagi refleksi teologis yang dibangun dari praksis kebudayaan. Dalam hal ini, teologi kontekstual tidak hanya dipahami sebagai suatu ikhtiar pempribumian teologi belaka melainkan penggalian hakikat berteologi itu sendiri dalam kebudayaan lokal yang menjadi arena pergulatan kemanusiaan universal pada suatu konteks partikular.

Teologi yang direfleksikan oleh manusia dalam masyarakat tersebut kemudian juga akan dipakai untuk melakukan kritik terhadap komitmen gereja untuk menjadi bagian dari pergulatan riel manusia dalam konteksnya. Jadi, praksis berteologi tidak semata-mata hanya bersinggungan dengan matra-matra dogmatis dan ritual gereja, tapi lebih jauh dapat menjadi kritik budaya berhadapan dengan fenomena sosial kemasyarakatan yang di dalamnya gereja juga mengambil bagian dan berfungsi kritis-kreatif. 

Studi ini merupakan salah satu pantulan eksistensial dan kultural mengenai pokok pergumulan misiologis gereja-gereja yang hidup dalam suatu ranah kebudayaan lokal (Maluku). Jalan panjang sejarah telah membuktikan bahwa hakikat kedirian gereja sebagai suatu entitas religius tidak dapat membentengi diri dari desakan penetrasi nilai-nilai kebudayaan manusia. Demikian pula dengan fenomena pergolakan-pergolakan ideologis sepanjang sejarah gereja di Maluku yang sampai saat ini terus berada dalam ketegangan historis dan kultural yang menggumpal dalam berbagai corak sikap dan pandangan terhadap dialektika Injil dan kebudayaan. Konsern itulah yang mendorong penulisan buku ini sebagai upaya untuk menelusuri matra kebudayaan lokal sebagai basis merekonstruksi refleksi teologis yang penad. Tentu dengan segala konsekuensi dan keterbatasan karena kebudayaan itu sendiri merupakan ekspresi manusiawi yang tidak bebas nilai. Pada titik itulah, karya ini menjadi simpul pertemuan berbagai kritik teologi dan kebudayaan.
Read more ...

Sunday, September 25, 2022

Mozaik Geliat Umat di Masa Pandemi: Pengalaman dan Refleksi GPM Klasis Pulau Ambon


Judul: Mozaik Geliat Umat di Masa Pandemi
Subjudul: Pengalaman dan Refleksi GPM Klasis Pulau Ambon
Editor: Elrianton Muskita & Steve G. C. Gaspersz
Penerbit: Penerbit Aseni
Tahun Terbit: 2021

Pengantar Editor

Hanya dalam hitungan bulan sejak Desember 2019 sampai Maret 2020 sejak virus corona teridentifikasi penyebarannya dari Wuhan, China, tatanan masyarakat global telah mengalami perubahan drastis. Kepanikan melanda berbagai negara dan mendesak semua pemerintahan mengambil kebijakan darurat mengantisipasi penyebaran virus ini dan mencari berbagai cara menangkal penyakit akibat virus corona, yang oleh WHO dilabeli sebagai Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Langkah sigap Presiden Joko Widodo untuk melakukan konsolidasi dan membentuk Satuan Gugus Tugas Pencegahan Penyebaran Virus Corona kemudian dilanjutkan dengan penerbitan protokol kesehatan untuk menghambat penyebarannya. Pemerintah Provinsi Maluku menanggapi kebijakan Presiden Indonesia dengan membentuk Gugus Tugas Penanganan Covid-19 yang diketuai oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku dengan melibatkan unsur-unsur Dinas Kesehatan, TNI, Polri, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Imigrasi, Beacukai dan Angkasa Pura. Sementara Pemerintah Kota Ambon membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Ambon.

Langkah-langkah responsif juga dilakukan oleh berbagai institusi keagamaan dan pendidikan. Institusi keagamaan tingkat nasional seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan sinode-sinode gereja anggotanya segera menerbitkan surat edaran yang mengimbau jemaat-jemaat mereka untuk mengurangi frekuensi kegiatan peribadahan ragawi secara berkelompok di gereja-gereja atau rumah-rumah. Kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga ditindaklanjuti oleh dua lembaga keagamaan di daerah, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Maluku dan Majelis Pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku (MPH Sinode GPM). Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Maluku menerbitkan Maklumat MUI No. 03 Tahun 2020 yang kemudian dipertegas dengan Surat Himbauan Pemerintah Provinsi Maluku Nomor 443-1196 Tahun 2020 yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah Kasrul Selang pada 3 April 2020. Majelis Pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku (MPH Sinode GPM) dengan segera menerbitkan “Pesan Gembala” GPM tertanggal 22 Maret 2020.

Meski pada awalnya sempat menimbulkan pro dan kontra pada sebagian anggota jemaat, terutama terkait pembatasan aktivitas peribadahan dan pengalihan ibadah Minggu ke rumah-rumah keluarga jemaat-jemaat, namun secara perlahan kondisi pandemic ini dapat diterima dan dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Selain aneka tafsir keagamaan yang berimplikasi pada respons dan penyikapan yang bervariasi terhadap Covid-19, sebagian besar warga masyarakat, termasuk warga jemaat GPM, secara psikologis mengalami tekanan kejenuhan yang tinggi. Kondisi itu makin sering muncul dalam bentuk pembangkangan sosial terhadap protokol kesehatan yang semula dipatuhi, seperti kerumunan di ruang publik tanpa menjaga jarak, penolakan menggunakan masker, pengambilan paksa jenazah oleh pihak keluarga dari rumahsakit dll.

Jemaat-jemaat yang berada dalam wilayah pelayanan Klasis Pulau Ambon, sebagian integral dari dinamika sosial masyarakat kota dan pulau Ambon, turut merasakan dampak kebijakan pemerintah daerah yang mengimplementasikan protokol kesehatan pada berbagai aspek kehidupan dan pembatasan aktivitas sosial, ekonomi, pendidikan dan keagamaan. Ketidakpastian mengenai kapan pandemic ini berakhir turut mempengaruhi resiliensi (ketahanan) psikologis sosial jemaat-jemaat GPM Klasis Pulau Ambon. Sejauh ini belum ada penelitian yang diprakarsasi oleh GPM untuk memetakan dampak Covid-19 secara komprehensif dan dari situ melakukan prediksi-prediksi yang terukur untuk mempersiapkan bentuk-bentuk pelayanan kejemaatan pasca Covid-19 (entah kapan). Dengan latar belakang itulah maka Balitbang Klasis Pulau Ambon mendapat penugasan dari Majelis Pekerja Klasis Pulau Ambon untuk menyusun rencana penelitian dan kegiatan penelitian pada jemaat-jemaat di wilayah pelayanan Klasis Pulau Ambon, dengan nama proyek Strategi Penanganan Dampak Covid-19 dan Resiliensi Jemaat-jemaat Selanjutnya pada Wilayah Pelayanan Klasis Pulau Ambon.

Proyek penelitian awal ini bertujuan: (1) Mendapatkan pemetaan situasi dan kondisi jemaat-jemaat di wilayah pelayanan Klasis Pulau Ambon sejak penetapan pembatasan aktivitas sosial, ekonomi, pendidikan dan keagamaan hingga saat berlangsungnya penelitian ini; (2) Memperoleh dan menganalisis data untuk penyusunan program-program strategis pelayanan bagi penguatan resiliensi dan keberlanjutan aktivitas penunjang kehidupan jemaat-jemaat GPM di Klasis Pulau Ambon; (3) Publikasi hasil penelitian sebagai proses pendokumentasian dinamika kejemaatan di Klasis Pulau Ambon selama pandemi Covid-19. Tujuan penelitian tersebut mengarahkan seluruh proses yang dilaksanakan pada November 2020 s.d. Januari 2021 di delapan jemaat, yaitu tiga jemaat pesisir (Latuhalat, Amahusu, Seri), dua jemaat pegunungan (Soya dan Kusu-Kusu Sere), dan tiga jemaat semi-urban (Rehoboth, Sinar dan Pancaran Kasih Gunung Nona). Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan tiga metode penelitian: Observasi lapangan, wawancara, dan Diskusi Kelompok Terpumpun.

            Terima kasih kepada delapan jemaat di Klasis Pulau Ambon yang telah membuka diri terlibat dalam percakapan bersama berbagi informasi dan refleksi yang menjadi bahan dasar eksplorasi berbagai isu-isu dalam tulisan-tulisan di buku ini. Terima kasih pula untuk rekan-rekan Tim Balitbang, baik sebagai tim peneliti maupun para penulis, yang telah bekerja bersama-sama sejak awal. Besar harapan bahwa hasil observasi awal dan publikasi ini menjadi pemantik kajian-kajian lapangan selanjutnya untuk terus mengamati dinamika kehidupan jemaat sepanjang masa pandemi yang belum terlihat titik terang penyelesaian penanganannya. Dengannya jemaat-jemaat (juga masyarakat luas) diselamatkan oleh implementasi kebijakan gereja dan/atau pemerintah berbasis data riel mengenai situasi dan kondisi mutakhir.  

Read more ...

Batu Karang Yang Teguh: Eklesiologi dan Teologi Publik Timur Indonesia


Judul: Batu Karang Yang Teguh 
Subjudul: Eklesiologi dan Teologi Publik Timur Indonesia 
Penulis: Steve G. C. Gaspersz 
Penerbit: Penerbit Aseni 
Tahun Terbit: 2020 

Buku ini tak lain adalah refleksi pergulatan dialektis antara “pengetahuan” (teologi sebagai ilmu) dan “pengalaman” (teologi sebagai spiritualitas) yang terus-menerus menyertai peziarahan hidup saya sejak tahun 1996 dan jauh kemudian pada tahun 2008 ditahbiskan sebagai pendeta GPM. Selepas menjadi tenaga magang di LPJ-GPM, jalan hidup saya ternyata tidak seiring dengan teman-teman seangkatan yang menjalani proses vikariat. Dengan beberapa alasan, saya menunda mengikuti program vikariat dan bertualang ke Jakarta. Salah satu alasan utama juga adalah karena istri saya, Nancy Souisa, terpilih sebagai Direktur Pelaksana (Dirlak) Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) dan berkantor di kompleks Sekolah Tinggi Teologi (sekarang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi) Jakarta. Baru pada tahun 2007, MPH Sinode yang dinakhodai Pdt. Dr. John Ruhulessin, M.Si. memberi kesempatan bagi saya untuk menjalani program vikariat pada salah satu jemaat di Jakarta. Saya sangat bersyukur dan beruntung diterima menjadi tenaga vikaris GPM pada Jemaat Persekutuan Oikoumene Umat Kristen (POUK) Kelapa Gading (Jakarta Utara) yang dipimpin oleh Pdt. Luther Raprap. Saya adalah vikaris GPM ketiga setelah Henry Lokra dan Nancy Souisa. Tahun 2009 kami sekeluarga pulang ke Ambon. Saya dan Nancy mendapat penugasan penuh oleh Sinode GPM sebagai tenaga pengajar (dosen) pada Fakultas Teologi UKIM hingga sekarang. 

Meskipun saya tidak pernah ditugaskan untuk memimpin satu jemaat, tapi saya intensif terlibat dalam berbagai peristiwa kejemaatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, saya berterima kasih kepada rekan-rekan pendeta GPM yang telah dengan sengaja melibatkan saya dalam banyak aktivitas pembinaan kejemaatan dan mengundang saya dalam berbagai kajian mengenai realitas pelayanan jemaat-jemaat GPM. 

Catatan-catatan yang terkumpul dalam buku ini pada hakikatnya adalah rekaman pandangan dan analisis saya terhadap berbagai peristiwa kejemaatan tersebut. Tingkat kedalaman dan lingkup keluasan analisisnya bervariasi. Ada yang saya tulis dengan mendalam; ada pula yang menjadi coretan-coretan sederhana dengan maksud “merekam” peristiwanya saja. Ada yang ditulis dalam format makalah pembinaan; ada sebagian lain yang ditulis sebagai catatan ringan perjalanan. Beberapa tulisan berisi tentang tinjauan pustaka dan obituari. Namun, secara keseluruhan, catatan-catatan ini mengekspresikan dialektika pengetahuan dan pengalaman saya sebagai seorang pendeta sekaligus sebagai seorang ilmuwan (dosen). Spesifikasi keilmuan yang saya tekuni adalah teologi kontekstual, teologi publik, studi agama-agama dan metode penelitian sosial. Perspektif keilmuan tersebut membentuk kerangka berpikir saya dan membantu saya dalam mencerap realitas-realitas pengalaman keseharian saya sendiri maupun dalam hubungan dengan berbagai komunitas (gereja dan masyarakat). Saya mencoba mengungkapkannya sebagian melalui tulisan-tulisan saya dalam buku ini. 

Sebagian besar tulisan pada buku ini sebenarnya sudah tersimpan cukup lama dalam kamar daring saya, yaitu blog pribadi yang saya desain dan kelola sejak tahun 2007. Tulisan-tulisan pada blog tersebut bervariasi. Saya meninjau kembali tulisan-tulisan tersebut dan menyeleksinya sesuai dengan maksud penulisan buku ini, yaitu membentangkan problematika eklesiologis dari jemaat-jemaat GPM sebagai gereja kepulauan dengan seluruh kompleksitas sosiologis, politis, antropologis dan ekonomis, yang tentu saja berkelindan dengan dinamika pembangunan kemasyarakatan dan realitas perubahan sosial-politik selama kurun waktu yang terbatas (sejauh mampu dicandrai). Tulisan-tulisan itu juga sangat dipengaruhi oleh posisi saya sebagai dosen pada Fakultas Teologi UKIM. Meski demikian, para pembaca tetap akan menemukan bahwa ranah pembahasannya masih terbuka lebar mencakup berbagai isu sehingga terkesan “gado-gado”. Namun, benang merah dari aneka tulisan yang diramu dalam satu buku ini jelas adalah problem eklesiologis: bagaimana Kristianitas dan Gereja menemukan jatidirinya dalam konteks yang sangat kompleks? Dalam kenyataan itu, apakah makna dan hakikat menjadi Kristen dan Gereja itu sendiri? Dua pertanyaan yang membentangkan kepada saya sendiri suatu spektrum analisis yang luas. Namun, biarlah begitu. Semoga ada orang lain yang bersedia melakukan penelusuran lebih lanjut setiap spektrum eklesiologis yang ditemukannya secara sporadik dalam tulisan-tulisan pada buku ini. 

Apa yang tercermin, baik secara implisit maupun eksplisit, dalam tulisan-tulisan yang saya rajut dalam buku ini sejatinya adalah pantulan kecintaan saya pada Gereja Protestan Maluku yang telah menjadi arena pembentukan jatidiri saya hingga saat ini. Kecintaan yang telah membuka ruang pembelajaran berteologi publik pada setiap fenomena sosial-budaya yang dihadapi oleh jemaat-jemaat GPM, yang atasnya saya melihat begitu banyak sumber inspirasi yang tidak pernah kering dan berdiri kokoh meski diterjang badai dan gelombang zaman. Ibarat batu karang.
Read more ...

Thursday, August 12, 2021

Buku: When Jesus came to Harvard (Harvey Cox)


Sejarah dan dinamika setiap universitas di seluruh dunia selalu ditandai oleh dialektika antara kejumudan ilmiah dan interpretasi etika praksis keilmuan. Kejumudan ilmiah melatih cara berpikir metodik dalam prosedur yang disiplin secara ketat agar darinya ilmu pengetahuan yang diproduksi terukur valid dan objektif secara epistemologis. Di sebelah lain, interpretasi etika praksis keilmuan menguji seluruh bangunan epistemik ilmu pengetahuan itu agar tetap mengawal nilai-nilai etis yang setia pada hakikat eksistensial manusia dan kemanusiaannya. Itulah yang menjadikan suatu universitas menjadi poros ontologis-epistemologis-aksiologis yang bergerak spiral dalam meninjau realitas kompleks yang dihidupi oleh alam semesta (universe). Semuanya terhubung bukan sebagai mesin produksi atau bengkel yang hanya memproduksi teknologi. Namun bersamanya, ada kepatutan-kepatutan (virtues) etika dan moralitas sehingga teknologi itu tidak terperangkap menjadi media dehumanisasi (homo homini lupus). 

Pergulatan tiga poros itulah yang tercermin dalam buku ini, sebagai catatan reflektif Harvey Cox, seorang filsuf etik Protestan, ketika dia diminta untuk menyajikan matakuliah “Jesus and the Moral Life” di Universitas Harvard. Kendati dalam sejarahnya universitas ini didirikan oleh kelompok Puritan yang cukup fanatik, tapi seiring perjalanan waktu nilai-nilai etika keagamaan (Protestan) kian tergusur di pojok kampus ini. Malah, Rektor James B. Conant (1933-1953, Rektor ke-23) menghapusnya sama sekali. Mungkin sejak itulah Universitas Harvard tampil di atas panggung sejarah keilmuan dunia dengan secara murni menggarap kerja-kerja penelitian dan melahirkan temuan-temuan saintifik yang membuatnya sebagai kampus ternama dunia hingga kini. 

Bagi Cox, undangan untuk menyajikan matakuliah “Jesus and the Moral Life” di kampus ini adalah sesuatu yang mengejutkan setelah kata "Jesus" menghilang dari diskursus di kampus ini selama 70 tahun (terakhir oleh Prof. George Santayana yang hengkang dari Harvard tahun 1912). Dia mengira bahwa untuk kampus sekaliber Harvard, matakuliah ini mungkin hanya dianggap sebagai diskusi usang. Namun, animo yang besar dari mahasiswa dan civitas akademika Harvard untuk mengikuti matakuliah ini mengubah keterkejutannya menjadi suatu kesadaran bahwa ada ruang epistemik dan eksperisial yang kosong di antara hiruk-pikuk diskursus keilmuan yang selama ratusan tahun telah terbangun di Harvard. Ruang epistemik dan eksperiensial itu penuh sesak dengan pertanyaan etis yang selama ini dibiarkan senyap dan menguap di antara temuan-temuan keilmuan dan teknologi yang membara secara global. 

Buku ini adalah eksplorasi filsafat etis Harvey Cox dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan ilmiah mengenai: Apa pentingnya suatu universitas menyajikan matakuliah etika? Seberapa besar etika mengimbangi geliat temuan teknologis sehingga manusia tetap menjadi “existential being” dan tidak terperosok menjadi sekadar “instrumental being”? Pada pijakan ontologis seperti apa, nilai-nilai etik (yang dalam hal ini bersumber pada Protestanisme) mampu membentuk karakter akademisi yang bergulat dengan dinamika keilmuannya sambil menyadari interkoneksitas temuannya dengan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga implikasi temuannya terarah pada konstruksi peradaban yang menghidupkan, bukan menghancurkan? Sejumput pertanyaan-pertanyaan inilah yang digumuli dan dielaborasi oleh Cox dalam buku lawas dengan judul yang agak genit ini: When Jesus came to Harvard (2004).
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces